Cerita tentang Manusia dan Harapan serta Manusia dan
Penderitaan.
Saya akan menceritakan tentang harapan seorang gadis yang
telah terwujud, tapi di samping itu semua penderitaan datang menghampirinya.
Tapi dia harus tetap menerima semuanya, karena dia yakin semua ada hikmahnya.
Ini dia
ceritanyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa................................................
PENDERITAAN PUN DATANG BERSAMA HARAPAN
Siang itu hujan turun deras
sekali membuat alam sekitar seakan menjadi malam yang gelap gulita. Angin bertiup
kencang sehingga membuat daun-daun pohon dan rantingnya berterbangan. Saat
itulah seorang gadis yang berusia 18 tahun mengharapkan sesuatu. Gadis itu
bernama Sifa. Dia duduk seorang diri di sebuah lorong-lorong.
Hujan pun berhenti. Dan Sifa
mendapatkan sebuah amplop yang berisikan tentang jawaban atas harapannya. Dia
berharap dapat bersekolah di sebuah Perguruan Tinggi ternama di Negeri Paman
Sam tanpa mengeluarkan biaya sedikit pun. Dengan sangat perlahan dia membuka
hasil amplop tersebut. Sesaat kemudian dia terkejut setelah membaca selembar
kertas yang ada di dalam amplop sampai-sampai dia melakukan sujud syukur.
Padahal tempat tersebut sangat basah karena hujan tadi.
Dia lari dengan kencang menuju
parkiran tempat ayahnya menunggu. Sambil menangis tersedu-sedu dia
memberitahukan kepada ayahnya tentang hasil pengumuman tersebut. Ayahnya
sengaja menungggu dia, karena ayahnya tahu anaknya mengharapkan sebuah impian
yang sangat besar. Dengan nada suara yang pelan, Sifa berkata “Ayah, sifa lulus
yah. Sifa di terima di universitas itu”. Sambil menghapus air mata Sifa, ayah
berkata “Syukur alhamdulillah. Apakah Sifa sudah berterima kasih dengan Allah
??”. “Sudah dong yah. Gak liat baju aku sampe basah yah” kata Sifa. Ayah pun
melihat baju Sifa yang basah hanya bagian depannya, “yaa ampun Sifa. Yasudah
ayo pulang, bajumu sudah basah. Ayah gak mau kamu sakit, nantinya kamu juga kan
yang repot” kata ayah.
Sesampai dirumah, Sifa langsung turun dari motor dan lari ke dalam rumah tanpa melepaskan helm yang ada di kepalanya, untuk memberitahukan kepada ibunya yang sedang terbaring lemah di dalam kamarnya.”Ibu sudah minum obat ?” kata Sifa untuk memulai pokok pembicaraan dia. “Sudah fa”, jawab ibu. Ayah menghampiri Sifa dan berkata “Sifa, ganti dulu bajumu baru cerita sama ibu”. Sifa seorang anak yang nurut apa kata ibu dan ayahnya. Setelah ganti baju, Sifa menghampiri kamar ibunya. Tok... tok... tok.... Sifa mengetuk pintu kamar ibunya. “Masuk nak” sahut ibu dari dalam kamar. Sifa pun masuk dan segera menceritakan soal tadi siang. “Hari ini hari gembira Sifa bu. Tepat di hari ulang tahun ibu yang ke-56, Sifa ingin memberitahukan berita bagus bu. Sifa dapet beasiswa yang ibu idam-idamkan” kata Sifa. Harapan Sifa ternyata menjadi harapan ibu juga, dan harapan Sifa yang lain adalah membahagiakan ibunya sebelum dia menghadap sang Ilahi karena sakit yang bertahun-tahun di deritanya.
Ibu pun mengulurkan tangannya dan
memeluk erat Sifa. “Makasih nak. Kamu telah memberikan kado yang terindah di
hari ulang tahun ibu kali ini” kata ibu sambil mengusap-usap kepala Sifa. Dan
Sifa pun meneteskan air mata. “ibu bangga ama kamu fa. Kamu berhasil jadi anak
yang ibu inginkan. Semoga saat kamu menuntut ilmu di sana kamu akan menjadi
orang yang di senangi oleh siapapun” kata Ibu. “Makasih bu. Ibu juga berhasil
membuat Sifa mewujudkan impian Sifa. Terima kasih bu, ibu juga udah meluangkan
waktu ibu buat mendidik dan mengajarkan Sifa banyak hal” kata Sifa. Sedang
asyik perbincangan ibu dengan Sifa, ayah masuk ke kamar untuk menyuruh Sifa dan
ibu beristirahat karena sudah larut malam.
Keesokan harinya Sifa berangkat
ke sekolah untuk mengurus semua administrasi yang akan di perlukan untuk di
sana nanti. Selesai mengurus keperluan administrasinya, dia pun langsung
beregegas meninggalkan sekolah dan menuju ke kantor imigrasi untuk membuat
paspor. Sepanjang hari, dia mengurus
keperluan administrasi sendirian tanpa bantuan siapa-siapa karena dia ingin
mulai belajar mandiri untuk mempersiapkan mentalnya di negeri Paman Sam. Malam
harinya dia mempersiapkan berkas-berkas yang tadi siang dia urus. Setelah itu
dia beristirahat lagi pula jam sudah menunjukkan pukul setengah 12 malam.
Hari ini hari terakhir Sifa
bersenag-senang dengan ayah dan ibunya. Karena besok dia akan berangkat
menuntut ilmu ke Negeri Paman Sam. “Hari ini, aku mau kita pergi sekeluarga bu.
Yaa itung-itung buat perpisahan bu. Besok kan aku berangkat bu” kata Sifa
kepada ibunya yang sedang ia tuntun ke arah ruang tamu. “Liat dulu keadaan
ibumu memungkinkan atau tidak” cela ayah.
Tanpa pikir panjang Sifa bertanya pada ibu “Ibu bisa atau tidak ?”.
Belum sempat menjawab pertanyaannya ibu melirih kesakitan. Akhir-akhir ini
penyakit ibu semakin parah dan tak ada tanda-tanda satupun kesembuhan ibu. “Ibu
kenapa ? Ayo kita ke dokter bu” kata Sifa. Ayah menghampiri ibu yang sedang
membersihkan motornya. “Ibu sudah minum obat ?” kata ayah. “Ibu gak
kenapa-kenapa fa. Maaf ibu yakin ibu gak sanggup nemenin Sifa jalan-jalan.
Penyakit ibu kambuh lagi” jawab ibu. Dan akhirnya Sifa dan Ayah menuntun ibu ke
kamarnya untuk istirahat.
Malam pun tiba. Sifa terlihat
gelisah dan bimbang atas kejadian tadi pagi. Apakah dia tega meninggalkan
ibunya yang sedang sakit ? Tapi ini adalah harapan dia yang dari dulu dia dan
ibu idam-idamkan. Kesempatan ini hanya
akan datang sekali di dalam hidupnya. Dan akhirnya ia memutuskan kalau dia
tidak menerima beasiswa tersebut. Dia memberitahukan ayahnya tentang
keputusannya. Dan ternyata ibunya mendengar keputusannya, akhirnya ibunya
memberikan penjelasan kepada Sifa kalau besok dia harus tetap berangkat tanpa
menghiraukan kondisi ibunya. Karena hal ini tidak akan datang kembali. Malam
pun telah larut, dan akhirnya ibu menyuruh Sifa untuk istirahat karena besok
pagi-pagi benar dia akan berangkat ke bandara.
Jam 03.30 WIB ibu dan ayah sudah
bangun lebih awal untuk mempersiapkan semua kebutuhan Sifa. Ibu mengetuk pintu
kamar Sifa berkali-kali sampai Sifa bangun dari tidurnya. Setelah itu ibu
menyuruh Sifa untuk lekas mandi dan melaksanakan sholat subuh berjama’ah.
Selesai melaksanakan kewajibannya Sifa lekas ganti pakaian dan menuju ke dapu
untuk makan bersama ayah dan ibu. Saat itu ayah sudah memasak makanan kesukaan
Sifa yaitu tumis udang saus tiram dan bakwan jagung ala ayah. Dengan lahap Sifa
menyantap masakan yang ayah buat, karena dia yakin masakan ayah melebihi masakan yang ada di restauran ternama. Maklum
ayahnya dahulu pernah bekerja sebagai koki yang handal di sebuah restauran
besar, karena istrinya sakit dan tidak bisa di tinggal sendirian di rumah
akhirnya dia mengundurkan diri.
Setelah makan Sifa langsung
membereskan meja makan. Kemudian dia menghampiri ibunya yang sedang memandangi
fotonya saat masih TK (Taman Kanak-Kanak). “Tak terasa kamu sudah besar fa. Ibu
bangga punya anak seperti kamu. Semoga cita-cita kamu akan terwujud yah. Disini
ibu dan ayah akan selalu mendoakan kamu”, kata ibu. Sambil meneteskan air mata,
Sifa berkata “Terima kasih bu, sudah merawat Sifa sampai sebesar ini. Tanpa ibu
Sifa gak jadi apa-apa. Harta yang paling berharga bagi Sifa punya ayah dan ibu
yang sangat sayang Sifa”. Sambil mengusap pipi Sifa ibu menjawab “Jaga diri
baik-baik yah disana, lakukan apa yang menurutmu baik, jangan sampai salah
langkah yah. Oia seandainya ajal ibu lebih cepat datang sebelum hari yang
paling spesial itu tiba, ingat pesan ibu yah nak. Ibu akan selalu mendoakanmu”,
sambil memeluk Sifa ibu berkata “Ibu sayang banget ama Sifa, jadilah anak yang
baik yah di mata siapa pun”. Sifa menjawab “Jangan ngawur deh bu, Sifa gak suka
ibu kayak begitu”.
Tak terasa matahari sudah
menampakkan diri. Jam 07.00 WIB Sifa sudah haru berangkat ke bandara, karena
jam 09.00 WIB pesawat yang akan di tumpangi Sifa dan orang yang mendapatkan
beasiswa akan lepas landas. Ibu dan ayah turut serta mengantarkan Sifa ke
bandara. Harapan Sifa terwujud tapi di lain sisi penderitaan mulai
menghampirinya saat dia harus meninggalkan ibunya yang sakit dan ayahnya yang
harus mengurus ibunya seorang diri. Di dalam pikirannya ia takut kehilangan ibunya sebelum ia berhasil
menyelesaikan studinya. Berkali-kali ia menghilangkan rasa gelisah itu, tapi
tetap saja selalu datang ke dalam pikirannya.
Sesampai di bandara, ayah
menurunkan koper-koper yang akan di bawa Sifa dari taksi. Kemudian Sifa
langsung bertemu orang yang akan membimbing dia di sana. Orang itu bernama
Santi Harlena, dia salah satu orang yang juga mendapatkan beasiswa untuk
melanjutkan studinya. Dan sekarang ia di tugaskan untuk menjadi pembimbing para
calon mahasiswa. Ibu Sifa memperkenalkan dirinya kepada Ibu Santi, dan juga ia
meminta bu Santi untuk menjaga anaknya disana nanti. “Bu kalau ajal saya lebih
dulu menjemput saya sebelum hari wisuda Sifa, titip dia yah bu ” suara ibu
dengan nada lirih. “Astagfirullah, ibu ngomong apa sih. Gak boleh begitu bu”
jawab bu Santi dengan raut wajah kaget. “Saya merasa umur saya gak lama lagi
bu” jawab ibu.
Waktu sudah menunjukkan jam 08.45
WIB, itu tandanya lima belas menit lagi Sifa akan lending. Tak lupa Sifa memeluk ibunya dengan erat dan meneteskan
air matanya, sambil berkali-kali ia mengucapkan kata sayang dan cinta kepada
ibunya. Begitupun sebaliknya dengan ibu, ibu yang berusaha tidak meneteskan air
matanya tapi tetap saja jatuh juga. Untuk menutup perpisahan itu ibu mencium
kening Sifa dengan halus dan lembut. Setelah itu Sifa menghampiri ayahnya dan mengatakan
“jangan lupa kasih kabar ama Sifa ya yah, kalau terjadi apa-apa ”. “Pasti nak.
Ayah akan selalu menelpon kamu kalau gterjadi apa-apa, kamu juga jangan lupa ya
kasih kabar ama ayah”, sahut ayah.
Akhirnya Sifa meninggalkan orang
tuanya yang ia cintai, sedikit tak rela tapi ia harus berusaha ikhlas untuk
menjalankan semuanya. Dua belas jam di perjalanan dan akhirnya sampai juga di
asrama yang akan ia tempati untuk menuntut ilmu. Kebetulan sekali ia satu kamar
dengan gadis yang baik hati dan ramah. Dia bernama Kika Andrean. Dia juga salah
satu orang yang beruntung seperti Sifa mendapatkan beasiswa sampai selesai.
Sesampai disana Sifa langsung
mencari tempat yang dapat menghubungi orang tuanya. Sekali dia tidak berhasil,
mungkin terjadi gangguan dari signal disana. Berkali-kali ia memncoba tetap
gagal, sampai dia hampir putus asa. Dan yang terakhir kalinya akhirnya
tersambung juga. Ayah mengangkat telepon dari Sifa. Ternyata sepulang dari
mengantarkan Sifa, ibunya pingsan dan akhirnya di bawa ke rumah sakit. Belum
sampai di rumah sakit ibu Sifa menghembuskan nafas terakhirnya tetapi sebelum
itu ibu Sifa memberikan amplop yang berisikan surat untuk Sifa. Tetapi ayah
sengaja tidak memberitahu Sifa, karena ayah yakin Sifa akan memaksa bu Sinta
untuk memulangkannya ke Indonesia.
Tiga tahun kemudian Sifa berhasil
menyelesaikan studinya sebelum batas waktu yang telah ditentukan. Sifa merasa
bangga dan senang dengan apa yang ia dapatkan. Selain dapat menyelesaikan studi
lebih cepat, untuk terakhir kalinya Sifa mendapatkan grade A dari universitas
tempat ia menuntut ilmu. Berkali-kali ia mengucapkan kata syukur kepada Allah
SWT. Setelah itu ia cepat-cepat menyiapkan keperluannya untuk pulang ke
Indonesia. Tak lupa ia membeli buah tangan untuk ayah dan ibunya. Sampai
sekarang pun dia belum mengetahui kalau ibunya sudah meninggal. Padahal ibu
Sinta sudah tahu dari ayahnya tetapi ayahnya berpesan agar berita ini jangan
diberitahukan kepada anaknya karena dia takut Sifa akan melepaskan
pendidikannya.
Sesampainya di bandara Soekarno
Hatta, dia langsung bertemu dengan ayahnya. Hal yang pertama kali ia tanyakan
adalah ibunya. Ia menanyakan kepada ayahnya mengapa ibunya tidak ikut menjemput
kedatangannya yang Sifa tahu ibunya msih dalam keadaan sehat wal’afiat, padahal
kenyataannya jauh seperti itu. Ayah langsung merangkulnya dan mengajaknya ke
suatu tempat. Sifa di ajak ke makam ibunya. Sesampai disana dia menampakkan
raut muka wajah yang syok dan sangat-sangat kaget. Karena yang dia tahu ibunya
masih sehat. Tak henti-hentinya dia menangis dan ayah berusaha untuk
menenangkannya. Ayah berkali-kali memberikan penjelasan pada Sifa tapi Sifa tak
menghiraukannya. Yang ia pikirkan, ini adalah kesalahannya. Mengapa dulu ia
memaksa untuk berangkat ke Belanad, padahal bayang-bayang yang pahit sudah
menghampirinya.
Sesuatu di keluarkan dari saku
jaket ayah dan memberikannya kepada Sifa. Tak ada kata tanya Sifa langsung
membuka amplop tersebut. Dengan nada lirih dia membaca surat dari ibu. Di surat
itu mengatakan kalu Sifa tak boleh berlarut-larut sedih dan harus cepat bangkit
karena sudah banyak tantangan yang menunggunya. Setelah membaca surat dari ibu,
Sifa langsung beranjak dari kesedihannya dan menuruti kemauan ibunya lagi. Dia
langsung mengajak ayahnya untuk pulang ke rumah karena hari esok dia akan
bangkit kembali menjalani hidup seperti semula walaupun tanpa ibu. Dan dia
berjanji akan selalu menjalani manis pahit dan asamnya hidup, semua ini hanya
untuk ibunya.
0 komentar:
Posting Komentar