Secara kronologis, konflik diartikan sebagai suatu proses
sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkannya atau membuatnya
tidak berdaya. Tidak ada satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik
antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik akan hanya
akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Dalam hal ini saya akan mengambil contoh kasus dari konflik
mesuji lampung. Baru-baru ini sejumlah warga mesuji mengungkap tragedi
pembantaian petani di daerah mereka yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Sengketa lahan di Kabupaten Mesuji terjadi dua titik. Pertama, sengketa lahan
antara perambah hutan di Desa Moro-moro, Pelita Jaya, dan Pekat Raya PT. Silva
Inhutani. Mereka memperebutkan lahan seluas 43.900 hektar di Kawasan Register
45. Kedua, sengketa lahan antara warga di Desa Kagungan Dalam, Nipah Kuning,
Tanjung Raya, dan PT Barat Selatan Makmur Investindo yang memperebutkan lahan
tanah ulayat. Sebelumnya lahan seluas 43.900 hektar Kawasan Register 45 itu di
kelola oleh PT Inhutani V hingga pertengahan tahun 1990-an. Perusahaan itu
kemudian bergabung PT Silvia anak usaha sungai Budi Group dan berganti nama
menjadi PT Silvia Inhutani. Perusahaan gabungan itu murni dikelola oleh PT
Silvia.
Pada tahun 1997, sejumlah warga menempati kawasan yang
ditanam sengon dan tanaman industri lain peninggalan PT Inhutani V. Perambahan
marak berdatangan setelah tahun 1999, mereka datang dari beberapa daerah. Saat
masuk wilayah Kabupaten Tulangbawang, pemerintah dan aparat kerap menertibkan
para perambah itu. Keberadaan perambah yang perlahan menguasai kawasan register
45 itu membuat pemerintah provinsi Lampung membentuk tim gabungan penertiban
perlindungan hutan. Tim beranggotakan ribuan orang menggusur pemukiman dan
gubuk-gubuk liar yang dibangun pekat raya. Sempat ada perlawanan tapi tidak ada
korban jiwa. Puncaknya pada 10 November 2011. Warga yang hendak memanen sawit
dilahan yang mereka klaim diberondong peluru aparat. Zaelani, 45 tahun, warga
Kagungan Dalam tewas ditempat. Saat ini lembaga bantuan hukum Bandar Lampung
dan wahana lingkungan hidup Indonesia mengadvokasi para korban sengketa lahan
di desa Nipah Kuning, Kagungan Dalam, dan Tanjung Raya. LBH menuding tragedi
berdarah itu karena polisi lebih berpihak pada perusahaan.
Dari ringkasan cerita konflik tersebut bisa disimpulkan
bahwa adanya komunikasi yang kurang terjalin antara pihak warga Kagungan Dalam
dan perusahaan yang memiliki lahan tersebut. Karena perusahaan yang mempunyai
lahan tersebut, warga Kagungan Dalam sebaiknya tidak semena-mena membangun
bangunan walaupun di bawah naungan Pekat Raya, sebab lahan tersebut dimiliki
oleh dua perusahaan. Sehingga harus ada persetujuan dari kedua belah pihak agar
tidak terjadi kesalahpahaman yang fatal. Aparat yang menyelesaikan kasus
tersebut hendaknya tidak memihak ke perusahaan tersebut, agar warga Kagungan
Dalam merasa adil.