Pages

Selasa, 13 November 2012

KONFLIK MESUJI LAMPUNG

Secara kronologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak ada satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik akan hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Dalam hal ini saya akan mengambil contoh kasus dari konflik mesuji lampung. Baru-baru ini sejumlah warga mesuji mengungkap tragedi pembantaian petani di daerah mereka yang dilakukan oleh aparat keamanan. Sengketa lahan di Kabupaten Mesuji terjadi dua titik. Pertama, sengketa lahan antara perambah hutan di Desa Moro-moro, Pelita Jaya, dan Pekat Raya PT. Silva Inhutani. Mereka memperebutkan lahan seluas 43.900 hektar di Kawasan Register 45. Kedua, sengketa lahan antara warga di Desa Kagungan Dalam, Nipah Kuning, Tanjung Raya, dan PT Barat Selatan Makmur Investindo yang memperebutkan lahan tanah ulayat. Sebelumnya lahan seluas 43.900 hektar Kawasan Register 45 itu di kelola oleh PT Inhutani V hingga pertengahan tahun 1990-an. Perusahaan itu kemudian bergabung PT Silvia anak usaha sungai Budi Group dan berganti nama menjadi PT Silvia Inhutani. Perusahaan gabungan itu murni dikelola oleh PT Silvia.
Pada tahun 1997, sejumlah warga menempati kawasan yang ditanam sengon dan tanaman industri lain peninggalan PT Inhutani V. Perambahan marak berdatangan setelah tahun 1999, mereka datang dari beberapa daerah. Saat masuk wilayah Kabupaten Tulangbawang, pemerintah dan aparat kerap menertibkan para perambah itu. Keberadaan perambah yang perlahan menguasai kawasan register 45 itu membuat pemerintah provinsi Lampung membentuk tim gabungan penertiban perlindungan hutan. Tim beranggotakan ribuan orang menggusur pemukiman dan gubuk-gubuk liar yang dibangun pekat raya. Sempat ada perlawanan tapi tidak ada korban jiwa. Puncaknya pada 10 November 2011. Warga yang hendak memanen sawit dilahan yang mereka klaim diberondong peluru aparat. Zaelani, 45 tahun, warga Kagungan Dalam tewas ditempat. Saat ini lembaga bantuan hukum Bandar Lampung dan wahana lingkungan hidup Indonesia mengadvokasi para korban sengketa lahan di desa Nipah Kuning, Kagungan Dalam, dan Tanjung Raya. LBH menuding tragedi berdarah itu karena polisi lebih berpihak pada perusahaan.
Dari ringkasan cerita konflik tersebut bisa disimpulkan bahwa adanya komunikasi yang kurang terjalin antara pihak warga Kagungan Dalam dan perusahaan yang memiliki lahan tersebut. Karena perusahaan yang mempunyai lahan tersebut, warga Kagungan Dalam sebaiknya tidak semena-mena membangun bangunan walaupun di bawah naungan Pekat Raya, sebab lahan tersebut dimiliki oleh dua perusahaan. Sehingga harus ada persetujuan dari kedua belah pihak agar tidak terjadi kesalahpahaman yang fatal. Aparat yang menyelesaikan kasus tersebut hendaknya tidak memihak ke perusahaan tersebut, agar warga Kagungan Dalam merasa adil.